Jumat, 18 Januari 2008

Kembangkan Pertanian Murah

RUMAH di "barak" Yon Armed 2 Cimahi, di belakang Pasar Antri, amat sederhana. Bahkan, tak sedikit bagian rumah yang sudah bocor ketika air hujan mengguyur bumi "Saluyu Ngawangun Jati Mandiri".

Namun, siapa sangka dari rumah sederhana itu lahir berbagai inovasi di bidang pertanian yang bisa melipatgandakan produksi. "Sebagai anak petani, saya amat prihatin melihat nasib petani yang selalu terpuruk. Petani hanya menikmati sisa, padahal mereka yang menanam," ungkap Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kota Cimahi, Joko Wiryanto, baru-baru ini.

Joko bersama tim pelaksana nasional revolusi lahan terpacu dengan kerusakan lahan akibat pemakaian pupuk kimia. "Sebagian besar tanah di Indonesia sudah rusak dan kehilangan unsur hara, akibat intensifikasi memakai pupuk kimia. Tanah menjadi kering dan tidak subur lagi," katanya.

Sejak tahun 1986, pria kurus ini melakukan berbagai percobaan untuk menghasilkan "formula" penyubur tanah. "Kalau melihat pendidikan, sebenarnya tidak nyambung. Saya lulusan Teknik Industri Unpas, namun bergelut dalam bidang pertanian, khususnya inovasi obat dan alat pertanian," tuturnya, tersenyum.

Sudah banyak inovasi yang dihasilkan Joko Wiryanto, seperti sistem pertanian tanpa pengolahan (sistem coblak), cairan media rehabilitasi lahan, kompos organik padat (KOP), alat tongeret, dan sebuah alat kecil untuk mencegah datangnya hama dan virus. "Untuk alat terakhir yang ukurannya sekitar 5 cm x 10 cm, belum diberi nama. Saya juga bingung mau diberi nama apa?" katanya.

Joko sudah memiliki ide untuk menghasilkan inovasi lainnya, seperti pembuatan musuh alami dari bakteri atau jamur, deteksi kesuburan tanah, infra merah untuk pengeringan panen, dan lain-lain. Apabila petani memakai media rehabilitasi lahan dan KOP yang jumlahnya hanya Rp 400.000,00/hektar, maka bisa menekan biaya produksi. "Selama ini, para petani mengeluh dengan harga gabah yang merosot. Padahal, dengan memakai teknologi sederhana yang saya temukan membuat petani tetap untung. Bahkan, harga gabah Rp 1.000,00/Kg pun para petani tetap tersenyum," katanya. (Sarnapi)***

Tulisan ini pernah dimuat HU "Pikiran Rakyat" (10 Mei 2007)