Kamis, 14 Februari 2008

Festival Saguling, Ode Buat Para Petani

DI tengah lapangan, di bawah langit mendung, mereka duduk bersaf-saf dengan wajah tertunduk. Semua khusyuk menyimak lantunan rajah, dipandu denting-denting kecapi yang berbalut pekat dengan suara rebab nan sendu menyayat. Barisan itu menghadapi sesajian. Sementara, asap mengepul-ngepul dari dupa dan hio.

Ya, sesajian dengan latar bendera merah putih. Ada beragam benda yang diletakkan pada "altar". Ada nyiru yang di atasnya terdapat kelapa muda, ayam bakar, telur ayam kampung, dan nasi tumpeng. Di sekitarnya, ada bermacam-macam buah-buahan. Diletakkan pula beraneka hasil bumi mengitari "altar" itu.

Lantunan rajah tersebut merupakan pembuka rangkaian kegiatan bernama "Festival Saguling" yang berlangsung di Desa Sukamulya, Kec. Cipongkor, Kab. Bandung Barat, Rabu (13/2). Di sela-sela kegiatan itu, ketua pelaksana kegiatan, Yosep Bachtiar menghadiahkan barangbang semplak kepada dua tokoh yang hadir saat itu, yakni Rizal Ramli (mantan Menko Ekonomi, Keuangan, dan Industri) serta Ferry Joko Juliantono, Ketua Umum Dewan Tani Indonesia (DTI).

Akan tetapi, sebelum acara resmi itu dimulai, panitia menggelar helaran. Masyarakat setempat ramai-ramai menggotong jampana yang berhiaskan hasil-hasil pertanian. Dalam helaran itu, dimunculkan pula sejumlah ensambel tradisional masyarakat Sunda, seperti dogdog dan angklung buncis.

**

DALAM sambutannya, Yosep mengatakan, penyelenggaraan kegiatan itu bertujuan untuk mengenang kejayaan petani pada masa lalu. Dahulu, para petani mampu mengetam hasil yang mampu mendongkrak kualitas kehidupan mereka. "Salah satu penandanya adalah digelarnya ritus-ritus sebagai ungkapan rasa syukur. Namun sekarang, ritus-ritus itu nyaris punah seiring dengan tak kunjung beruntungnya masyarakat petani kita," katanya.

Pandangan senada diungkapkan ekonom Rizal Ramli. Menurut dia, selama lebih dari 40 tahun, masyarakat petani di Indonesia belum pernah benar-benar menikmati hasil pertanian mereka.

"Kenapa begitu? Soalnya, kebijakan pemerintah selama ini tidak propetani. Pemerintah lebih pro kepada kepentingan pasar global," ujarnya.

Ia memberi contoh, pada zaman Orde Baru, pemerintah membuat kebijakan rasio 3:2 untuk harga gabah dan harga pupuk. "Kebijakan itu betul-betul dijaga. Dengan demikian, para petani hidup dalam keadaan pas-pasan. Mereka tak pernah merasakan untung yang melimpah karena kebijakan itu," ucap Rizal.

Satu hal lagi, kata dia, pemerintah negeri ini masih mengutamakan impor. Akibatnya, Indonesia jadi kecanduan. "Makanya, kalau terus begitu, jangan harap petani bisa menikmati hasil produksi mereka. Seharusnya, pemerintah memberikan kesempatan untuk para petani, melindungi mereka, dan memberikan tingkat keuntungan yang tinggi," tuturnya.

Rizal mengungkapkan data mengenai sejumlah komoditas yang diimpor itu. Beras, misalnya, Indonesia mengimpor 1,5 juta ton hingga 2 juta ton setiap tahunnya. Soalnya, produksi beras nasional yang sebesar 30,5 juta ton tak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional yang sebesar 32 juta ton.

"Kedelai juga begitu. Kita mengimpor 1,65 juta ton setiap tahun karena konsumsi kedelai nasional sebesar 2,25 juta ton/tahun. Sementara, produksi kedelai nasional hanya 0,6 juta ton/tahun. Komoditas lain, seperti jagung, gula, daging sapi, terigu, sayur-sayuran, dan buah-buahan pun kita impor," katanya.

Hal senada diungkapkan Ketua Umum Dewan Tani Indonesia, Ferry Joko Juliantono. Ia mengaku prihatin dengan kondisi masyarakat petani di negeri ini. "Kita contohkan saja kedelai. Para petani enggan bertanam kedelai karena memang harga petani kalah dengan kedelai impor, terutama dari AS," ujarnya.

Dalam hal ini, Ferry menganggap pemerintah membuat kebijakan setengah hati. Memang, kata dia, pemerintah berharap ada perluasan produksi kedelai. "Akan tetapi, pemerintah masih membuka peluang impor. Itu kan sama juga bohong," tuturnya.

Oleh karena itu, beberapa waktu lalu, DTI melayangkan protes kepada pemerintah. Selain itu, kata Ferry, DTI berharap persoalan pangan tidak lagi ditangani tim ekonomi pemerintahan SBY. "Ambil alih saja oleh lembaga ketahanan pangan yang dipimpin oleh Presiden," ucap Ferry.

Kondisi para petani mungkin demikian adanya. Tema itu bolehlah juga diusung dalam gotra sawala pada rangkaian festival tersebut. Malam harinya, masyarakat petani mendapat suguhan berupa bajidoran dan wayang golek. Festival Saguling, sejatinya, diselenggarakan sebagai ode buat para petani. (Hazmirullah/"PR")***

Sumber berita: HU Pikiran Rakyat